RKUHP DISAHKAN ANCAMAN BAGI LEMBAGA MAHASISWA DAERAH DAN DEMOKRASI?

Beberapa hari terakhir bangsa kita bergejolak kembali, berawal dari revisi Undang-Undang KPK No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK yang menuai banyak komentar dari publik tentang poin-poin subtansi dalam pasal yang dianggap melemahkan kinerja KPK sebagai Lembaga Negara independen yang memiliki tugas dan fungsi memberantas tindak pidana korupsi. RKUHP pun juga menuai banyak protes baik dari Mahasiswa, Akademisi, Pers dan Masyarakat umum tentang pasal yang dinilai sangat kontroversial sehingga memicu gerakan massa yang dipelopori mahasiswa dari berbagai Kampus di Indonesia. Begitupun dengan beberapa RUU yang dianggap bermasalah seperti RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU Ketenagakerjaan dan lain sebagainya.

Sebagai seorang yang masih berstatus mahasiswa kami menyambut baik apa yang dilakukan oleh kawan-kawan mahasiswa dalam memperjuangkan sesuatu yang dianggap sebagai sebuah aspirasi rakyat Indonesia. Bisa dikatakan gerakan mahasiswa sejak 23 September kemarin sampai dengan 24 september 2019, bahkan dibeberapa daerah pada tanggal 25 september juga malakukan hal sama yang kami anggap sebuah gerakan besar dan massif pasca gerakan Mahasiswa 21 tahun lalu era reformasi negara ini dimulai. Tapi tidak sedikit juga kritikan bahkan cemoohan dari publik yang menganggap mahasiswa tidak memahami subtansi  persoalan, seperti apa yang viral disosial media baru-baru ini tentang statement Bapak Mentri Yasona disalah satu stasiun televisi swasta yang mengatakan bahwa “ Saya juga aktivis dimasa mudanya, jadi kalau saya dulu mau berdebat, saya baca dulu itu barang sebelum saya berdebat. Kalau ini jujur sebagai Dosen saya malu apa yang sodara sampaikan”.Poin yang bisa saya ambil adalah bahwa mahasiswa harusnya memahami isi subtansi dari problematika RUU ini.

Sebagai mahasiswa kami merasa aneh ketika mahasiswa seperti dipermalukan didepan publik, padahal kapasitas pengalaman dan akses informasi yang dimiliki mahasiswa  jauh berbeda dengan sarana dan pengalaman yang dimilki oleh pemerintah lalu itu dibenturkan dalam argumentasi, bayangkan saja rancangan RKUHP tersebut sudah dibahas puluhan tahun lalu dimasa Orde baru lalu dibahas lagi 4 tahun lalu yang pada saat itu mahasiswa masih berseragam sekolah yang tidak tau apa-apa, namun  disisi lain mahasiswa mencoba mempelajari dan mencermati problem tersebut meski tak sempurna tapi hanya mahasiswalah yang punya keberanian untuk menyampaikan aspirasi itu dengan hanya mengandalkan intelektualitas dan jumlah massa mereka untuk menghadapi kekuasaan dan aparat yang dilengkapi senjata. Tapi sudahlah hal ini juga sebagai bentuk pembelajaran sebagai salah satu proses yang akan lebih meningkatkan kualitas kita sebagai mahasiswa, mari kita anggap itu sebagai sebuah kritikan yang membangun.

Kami adalah mahasiswa yang bukan dari jurusan Hukum yang kurang memahami hukum secara komprehenship, mungkin akan ada kesalahan argumentasi dalam isi tulisan singkat ini, yang kami tulis karna ada sebuah keresahan dimana mahasiswa menjadi bulan-bulanan cemoohan baik dari masyarakat yang awam, pemerintah, tokoh politik dan bahkan sampai menjustice mahasiswa bahwa tidak memahami subtansi persoalan. seperti halnya didaerah, disana juga gerakan mahasiswa diwarnai bentrok antara mahasiswa dan aparat sehingga terjadi aksi pelemparan yang sebenarnya kita tidak inginkan, saya meyakini bahwa teman-teman mahasiswa disana tidak menginginkan itu terjadi namun ada saja oknum yang melakukan tindakan yang memicu bentrokan terjadi sehingga massa yang jumlahnya mungkin ratusan sampai ribuan itu tidak terkontrol. Yang menjadi soal hari ini adalah teman-teman mahasiswa digeneralisir sebagai kelompok yang hanya menegedepankan kekerasan dari pada berargumentasi dan narasi itu terbangun dibeberpa komentar disosial media, tapi kami anggap itu adalah dinamika yang kami harus hadapi sehingga kami perlu sedikit berkomentar akan persoalan ini meskipun mungkin akan banyak kekeliruan dan dianggap sebagai penilaian subjektif tapi silahkan publik menilai. Mari kita mencoba untuk membangun sebuah narasi yang saling terbuka agar dinamika dialog sesama anak bangsa tetap berjalan dalam menkonstruksi kemajuan demokrasi kita.

Sebagai mahasiswa yang juga punya keterbatasan, seperti pembelaan banyak orang termasuk pemerintah saat memilih jalan kompromi setelah menuai banyak kritikan dan kami pun sepertinya akan memilih jalan itu juga, akan lebih baik lagi jika kami fokus pada beberapa persolan saja agar kami tidak menghabiskan banyak waktu untuk membaca  semua draft rancangan yang sangat tebal itu untuk menyelesaikan tulisan ini. Saya memilih fokus kebeberapa pasal RKUHP yang berpotensi mengancam kehidupan demokrasi yang akan berdampak juga bagi kami yang aktif mengkritis kebijakan yang ada di daerah.

Namun sebelumnya kita mesti bersepakat bahwa tidak mengharamkan sebuah revisi karna perubahan itu adalah sesuatu keniscayaan dalam kehidupan kita, sepakat untuk poin itu. Dalam tugas fungsi legislatif pun mereka memiliki kewenangan membuat dan merubah undang-undang, namun yang menjadi soal adalah apakah perubahan itu kearah yang lebih baik atau bukan?, tentu kita akan melihat subtansi dari poin-poin perubahan itu sendiri.

IM3I (IKATAN MAHASISWA MANDAR MAJENE INDONESIA) juga mendiskusikan hal tersebut sehinggap dianggap perlu menjelaskan hasil dialog sesama kader tentang subtansi persoalan ini agar mahasiswa dapat menunjukkan intelektualiatas dan rasionalitas berfikirnya.

Menyoal RKUHP PASAL 353 & 354 tentang penghinaan kekuasaan umum dan Lembaga Negara secara subtansi pasal pasal ini multitafsir yang bisa saja disalah artikan oleh siapapun, defenisi menghina dan mengkirtik ini kadang disamakan, dalam hal lain penjelasan sacara konkrit atas perbedaan antara definisi menghina dan mengkritik tidak memiliki penjelasan. Mari kita simak RKUHP PASAL 353 & 354 tentang penghinaan kekuasaan umum dan Lembaga Negara:

“Ayat (1) setiap orang yang dimuka umum dengan lisan ataupun lisan menghina kekuasaan umum atau lembaga Negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

Ayat (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

Ayat (3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina”.

Pasal 354 Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

Pasal ini tidak memiliki penjelas yang konkrit sehingga parameter tentang penghinaan itu menjadi suatu yang absur, pasal ini mirip dengan Undang-Undang ITE yang diantaranya tercantum pasal-pasal karet yang setiap saat bisa menjerat orang-orang yang mengkritisi pemerintahan.

Dalam aturan penjelas pasal 353 ini menjelsakan “Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan agar kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati, oleh karena itu perbuatan menghina terhadap kekuasaan umum atau lembaga tersebut dipidana berdasarkan ketentuan ini. Kekuasaan umum atau lembaga negara dalam ketentuan ini antara lain Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, polisi, jaksa, gubernur, atau bupati/walikota”. Dari nomenklatur dipasal penjelasan ini menegaskan bahwa lembaga Negara seperti yang ada Daerah dilindungi dalam pasal karet ini sehingga menurut kami sangat mengebiri hak demokrasi, sebagai lembaga mahasiswa yang orientasinya menjadi bagian dari civil society akan  terhalangi dalam dinamika proses pembangunan daerah itu sendiri, kritikan bisa saja diartikan menjadi narasi penghinaan terhadap intitusi Negara yang berada didaerah sebagai sebuah kesatuan yang tak terpisahkan meski dalam pelaksanannya Daerah memiliki kewenangan otonom. Dan menurut kami hal ini sangat membahayakan para aktivis mahasiswa terkhusus kader IM3I itu sendiri.

Selain teman-tema di IM3I berpendapat bahwa pada pasal 218-219 di RKUHP juga  kontroversial meski membahas tentang harkat martabat seorang kepala Negara namun pasal 218-219 ini sudah dibatalkan oleh oleh MK (Mahkamah Konstitusi), pasal tersebut sudah tidak relevan lagi dengan nilai-nilai Demokrasitisasi bangsa ini & sangat mudah mengkriminaliasai warga Negara, entitas jabatan publik tidak seharusnya diberikan privillage (hak imunitas) yang akan mencederai equality (kesetaraan) dalam berdemokrasi. harkat martabat seseorang sudah diatur dalam aturan lain ketika seseorang dihina & direndahkan martabatnya dan bisa diproses secara hukum. Argumentasi pemerintah & DPR tentang spririt RKUHP adalah ingin meninggalkan KUHP warisan kolonial, namun ketika melihat pada beberapa pasal yang dicantumkan didalam RKUHP justru semangat kolonialisme masih diterapkan dalam aturan ini contohnya pasal 218-219 tentang harkat martabat presiden dan wakil presiden tersebut. meski RKUHP adalah karya anak bangsa namun pada subtansi di RKUHP ini masih mencantumkan pasal-pasal yang ada pada KUHP warisan kolonial yang sekarang ini masih berlaku itu artinya subtansi pada RKUHP masih memiliki sprit yang sama dengan warisan kolonial itu.

Penolakan terhadap RKUHP ini bukan semata ingin membenarkan bahwa rivisi itu tidak bisa melainkan ada subtansi tertentu yang belum diterima dengan lapang dada oleh para mahasiswa, termasuk Lemabaga Mahasiswa Daerah seperti IM3I yang selama ini getol mengkritisi kebijakan pemerintah daerah untuk kepentingan kehidupan demokrasi dan menciptkan iklim good govermence. Penerapan KUHP berlaku diseluruh Indonesia itu artinya jika RKUHP ini disahkan maka para Aktivis Mahasiswa termasuk didalamnya para keder IM3I berpotensi hak berpendapatnya dibatasi dan hak untuk menyampaikan aspirasi bisa jadi disalah artikan oleh pihak tertentu sehingga pasal pidana ini bisa menjerat siapa saja yang melawan pemerintah, oleh karnanya para kader IM3I sangat menolak RKUHP ini untuk disahkan dan kami berharap RKUHP ini bisa ditinjau kembali agar bisa diterima oleh semua kalangan termasuk kami yang berkecimpun di Lembaga Mahasiswa Ke-Daerahan.

 

Wassalam

Abd rahman wahab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *