URGENSI PENGESAHAN RUU MASYARAKAT HUKUM ADAT

Sumber Foto : Kompas.com
Oleh : Luluareq Muh.Riyadh Ma’arif
Ketukan palu pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat (HMA) berlangsung dramatis, tidak semudah ketukan palu pengesahan UU Ciptakerja. Usulan RUU HMA sebelumnya gencar menjadi pembahasan dimulai masuknya RUU tersebut ke daftar Prolegnas 2010-2014 (RUU Pengakuan dan Pelindung Kesatuan Masyarakat Hukum Adat), Prolegnas 2015-2019 (RUU Masyarakat Hukum Adat), dan pada tahun 2020 RUU MHA masuk kembali dalam daftar Prolegnas dengan nomor 31 RUU usulan DPR RI. Status terkini pembahasan RUU MHA sudah menyelesaikan pembahasan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan di Badan Legislasi DPR RI (BALEG) tahun 2020 silam. Lamanya durasi pembahasan lanjutan (Pembahasan tingkat II: Paripurna) RUU tersebut bukan sesuatu yang aneh jika banyak masyarakat yang mempertanyakan penyebab mangkraknya pengesahan RUU tersebut.
Berdasarkan penyampaian Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU MHA di BALEG DPR RI, Willy Aditya yang merupakan Politisi Partai Nasdem, bahwa penyebabnya sama sekali tidak berkaitan dengan politik identitas, melainkan lebih mengarah kepada arah pembangunan atau korporasi besar. Berdasarkan hasil dari harmonisasi Panja RUU MHA 23 Januari 2018 lalu, memuat beberapa hak, diantaranya: wilayah adat, ha katas SDA, hak pembangunan, hak spiritualitas dan kebudayaan, dan hak atas lingkungan hidup yang tertuang dalam BAB V (Hak dan Kewajiban) yang dianggap berpotensi menyempitkan ruang gerak korporasi melakukan eskploitasi lahan untuk kebutuhan industri.
Sebagai informasi, deforestasi netto tahun 2019 -2020 baik di dalam maupun di luar kawasan hutan Indonesia adalah sebesar 115,5 ribu ha. Angka ini berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 119,1 ribu ha dikurangi angka reforestasi (hasil pemantauan citra satelit) sebesar 3,6 ribu ha. Luas deforestasi tertinggi terjadi di kelas hutan sekunder, yaitu 104,4 ribu ha, di mana 58,1% atau 60,64 ribu ha berada di dalam kawasan hutan dan sisanya seluas 43,7 ribu ha atau 41,9% ada di luar kawasan hutan (menlhk.go.id). Demikian pula kondisi perluasan lahan pertanian subsisten meningkat 18,7 persen, menurunnya bahan organik tanah serta 80 persen lahan pertanian mengalami erosi. Sementara perluasan produksi minyak sawit, kayu lapis, industri pulp-kertas dan lahan kosong juga turut menyumbang terjadinya degradasi lahan (ugm.ac.id). Dilansir dari laman walhi.or.id data yang diolah Walhi Kalimantan Selatan menyebutkan dari 3,7 juta hektar luasan wilayah Kalimantan Selatan, hampir 50 persen merupakan lahan tambang dan perkebunan sawit. Meskipun trend kerusakan lahan hutan mengalami penurunan Indonesia masih perlu waspada terkait dampak jangka panjang kerusakan lingkungan seperti musim kemarau panjang atau kekeringan, minimnya peresapan air ke dalam tanah dan kekurangan sumber daya air. Berbagai upaya yang dilakukan pembuatan hujan buatan, pembuatan sumur resapan, menghidupkan mata air dengan kegiatan penanaman di sekitar sumber mata air dan lain-lain.
Berdasarkan data yang dimuat Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengungkapkan total 241 kasus konflik agraria terjadi sepanjang Tahun 2020. Total kasus tersebut terjadi di 359 daerah di Indonesia dengan korban terdampaknya sebanyak 135.332 kepala keluarga (KK). Konflik agraria tertinggi terjadi pada sektor perkebunan yaitu sebanyak 122 kasus. Jumlah ini naik 28 persen dibandingkan pada 2019 yaitu sebanyak 87 kasus kata Dewi dalam acara diskusi virtual peluncuran laporan kasus konflik agraria 2020 di Jakarta, 06 Januari 2021. Selanjutnya tertinggi kedua konflik agraria terjadi pada sektor kehutanan yaitu sebanyak 41 kasus. Meningkat 100% dari 2019 yang berjumlah sebanyak 20 kasus. Konflik agraria lainnya terjadi di sektor infrastruktur sebanyak 30 kasus, properti 20 kasus, pertambangan 12 kasus, fasilitas militer 11 kasus, pesisir kelautan 3 kasus dan agribisnis 2 kasus. “Secara angka, konflik agraria dapat disebut menurun 14 persen, namun penurunan tersebut tidak signifikan dan tidak sebanding dengan minusnya pertumbuhan ekonomi yang turun 200 persen,” tambah Dewi. Adapun total luas tanah yang terdampak konflik agraria sepanjang Tahun 2020 adalah seluas 624.272 hektar. Secara rinci dampak terluasnya terjadi di sektor kehutanan 312.158 hektar. Terluas kedua, sektor perkebunan 230.887 hektar. Selanjutnya infrastruktur 57.185 hektar, properti 6.019 hektar, pertambangan 12.797 hektar, fasilitas militer 4.741 hektar, pesisir kelautan 243 hektar dan agribisnis 3.915 hektar.
Masyarakat adat merupakan penduduk yang hidup dalam satuan-satuan komunitas berdasarkan asal usul leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah, dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat adatnya. Eksistensi masyarakat adat di Indonesia diakui secara konstitusional sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 serta penjelasan kedua Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945, Pasal 18B ayat (2) NRI Tahun 1945. Masyarakat adat juga sangat berperan penting dalam pelestarian hutan di Indonesia dan menjadi garda terdepan untuk melestarikan ragam budaya yang dimiliki bangsa kita. Pengakuan secara legal kepemilikan lahan adat bagi masyarakat adat memiliki dampak yang besar bagi negara dan dunia, diantaranya:
- Di Bolivia, Lahan hutan yang dikuasai secara adat mencatatkan tingkat deforestasi tahunan rata-rata 2-3 kali lebih rendah dibandingkan lahan lain dari tahun 2000 hingga 2012. Perlindungan lahan ini akan menghasilkan manfaat iklim, lingkungan dan ekonomi senilai miliaran dolar dalam 20 tahun ke depan.
- Penelitian menunjukkan bahwa lahan adat dan lahan masyarakat menyimpan sekitar 25 persen karbon di atas tanah di dunia yang berperan penting dalam upaya global untuk menekan perubahan iklim. Sebagai contoh, suku Ikahalan di Filipina melindungi hutan leluhurnya secara turun-temurun. Alat analisis simpanan karbon baru LandMark memperkirakan bahwa pepohonan di wilayah Ikahalan, rata-rata menyimpan 96 ton karbon per hektar dengan total hampir 3 juta ton karbon di seluruh wilayah mereka. Total karbon yang tersimpan di dalam lahan mereka setara dengan jumlah emisi gas rumah kaca tahunan dari 2,3 juta kendaraan berpenumpang.
- Hutan adat juga bermanfaat sebagai penyedia bahan pokok produk farmasi, karena di hutan adat tersedia bahan material untuk obat-obatan dan ketersedian berbagai sumber bagi kepentingan penelitian.
Sehingga urgensi dari pengesahan RUU MHA ini akan berdampak positif kepada masyarakat adat yang selama ini rentan terhadap perilaku diskriminatif dari sektor swasta bahkan pemerintah, sehingga kedepannya bangsa kita tidak akan menemukan lagi adanya kasus-kasus konflik agraria. Manfaat juga dapat dirasakan oleh masyarakat dunia dengan ketersediaan pangan, air, iklim, pengembangan ilmu pengetahuan, bahan obat-obatan, dan kesejukan adalah wujud nyata kontribusi masyarakat adat kepada bangsa Indonesia dan dunia.
Daftar Pustaka:
Agung. (2020). Indonesia Hadapi 14 Juta Hektare Lahan Kritis. Link: https://ugm.ac.id/id/berita/20119-indonesia-hadapi-14-juta-hektare-lahan-kritis
Dokumen risalah rapat PANJA RUU Masyarakat Hukum Adat, website: www.dpr.go.id
Draft RUU Masyarakat Hukum Adat. Link: https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ2-20171106-094054-7086.pdf
Fadli A. (2021). Sepanjang 2020 Konflik Agraria 241 Kasus, Tertinggi Sektor Perkebunan. Link: https://www.kompas.com/properti/read/2021/01/06/160000521/sepanjang-2020-konflik-agraria-241-kasus-tertinggi-sektor-perkebunan.
KLHK RI. (2021). Deforestasi Indonesia Turun, Terendah Dalam Sejarah. Link: https://www.menlhk.go.id/site/single_post/3640/deforestasi-indonesia-turun-terendah-dalam-sejarah
Laporan Tinjauan Lingkungan WALHI. (2020). Link: https://www.walhi.or.id/wp-content/uploads/2018/12/Layout_Tinjauan-Lingkungan-2018.pdf
Reytar K, Veit P. (2017). 5 Peta Menunjukkan Pentingnya Masyarakat Adat dan Masyarakat Setempat bagi Lingkungan. Link: https://wri-indonesia.org/id/blog/5-peta-menunjukkan-pentingnya-masyarakat-adat-dan-masyarakat-setempat-bagi-lingkungan
Weisse M, Goldman E (2021). Kerusakan Hutan Hujan Primer Meningkat Sebesar 12% dari Tahun 2019 hingga Tahun 2020. Link: https://wri-indonesia.org/id/blog/kerusakan-hutan-hujan-primer-meningkat-sebesar-12-dari-tahun-2019-hingga-tahun-2020