Krisis iklim, (Antara Tindakan dan Solusi Palsu dari para pemimpin) apa yang harus kita lakukan?

1. Krisis Iklim
Cuaca yang tidak menentu kerap kali membuat kita merasa kebingungan. Anda mungkin pernah merasakan cuaca yang panas sekali pada siang hari, kemudian tiba-tiba hujan deras yang tak henti. Ada juga kemarau panjang pada saat musim penghujan yang beberapa kali terjadi akhir-akhir ini. Beberapa peristiwa tersebut merupakan salah satu contoh dampak dari terjadinya perubahan iklim.
Ditambah lagi dengan peringkat Indonesia yang menjadi Negara kelima yang menjadi penyebab krisis iklim di dunia, berdasarkan analisis carbon brief, Indonesia menyumbang sekitar 4,1% dari emisi C02 kumulatif global sejak 1850 hingga 2021. Analisis tersebut meliputi emisi C02 dari penggunaan lahan dan kehutanan belum termasuk penggunaaan emisi bahan bakar fosil.
Ketika kita berbicara skala global maka penyebab krisis iklim terbesar salah satunya emisi gas rumah kaca dimana gas karbon yang dihasilkan setiap tahunnya yaitu sekitar 51 miliar ton gas rumah kaca ke atmosfer, gas karbon yang sebanyak itu yang membuat cuaca di seluruh dunia tidak stabil, ketika cuaca panas maka akan terasa sangat panas tidak seperti biasanya dan cuaca musiman seperti musim hujan pun sudah tidak bisa di prediksi lagi
Ketika kita berbicara apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi krisis iklim kedengarannya sangat sukar untuk kita lakukan dikarenakan dunia belum pernah melukan hal sebesar itu, bukan hal lumrah lagi ketika kita mengatakan bahwa mengatasi krisis iklim itu sukar karena dari beberapa laporan-laporan yang dikeluarkan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) bahwa ketebalan gas karbon yang ke atmosfer setiap tahunnya itu lebih dari 51 miliar ton dan itu akan menghilang dalam waktu 10.000 tahun kedepan.
Lebih buruk, jauh lebih buruk dari apa dipikirkan. Perubahan iklim yang lambat itu cuma dongeng, barangkali sama melenakannya dengan dongeng yang menyatakan perubahan iklim tak terjadi sama sekali, dan terikat dengan beberapa dongeng lain dalam bunga delusi yang membius: bahwa pemanasan global hanya permasalahan tinggi permukaan air laut dan daerah pantai, bukan krisis yang melingkupi semua tempat tanpa kecuali dan memengaruhi semua bentuk kehidupan tanpa terlewat satupun. Perubahan iklim adalah krisis dunia “alami”, bukan dunia manusia; bahwa perubahan iklim dan pemanasan global itu tak berhubungan,dan kita sekarang hidup di luar atau melampaui atau setidaknya bisa bertahan hidup menghadapi alam,bukan didalamnya tanpa bisa terlepas darinya; bahwa kekayaan bisa menjadi perisai yang melindungi terhadap kerusakan akibat pemanasan global dan pembakaran bahan bakar fosil adalah harga petumbuhan ekonomi terus menerus; bahwa pertumbuhan, dan teknologi yang diproduksinya, akan memperkenankan kita merekayasa jalan keluar dari bencana lingkungan hidup; bahwa pernah ada ancaman yang sebesar atau seluas ini dalam panjangnya sejarah manusia sehingga kita berpengalaman mengahdapinya.
Yang menjadi pertanyaan disini adalah apa yang harus kita lakukan? Gampang saja merasa tak berdaya di depan masalah sebesar perubahan iklim. Namun tak berdaya. Dan juga tak harus menjadi politikus atau filantropis untuk membuat perubahan. Kita punya pengaruh sebagai warga, konsumen,pekerja atau pemberi kerja. Kita sebagai warga Negara bila bertanya kepada diri sendiri apa yang bisa dilakukan untuk membatasi krisis iklim, wajar saja jika yang terpikir adalah memakai mobil listrik atau makan lebih sedikit daging, pembahasan yang seperti ini tidak terlepas dari sistem-sistem dimana kita menjalani kehidupan sehari-hari, contohnya jika seseorang ingin roti panggang kita perlu memastikan ada sistem yang bisa menyediakan roti dan pemanggang roti serta listrik untuk menjalankan pemanggang tanpa perlu menambah gas rumah kaca ke atmosfer. Tentunya kita tidak memecahkan masalah jika hanya menyuruh orang tidak makan roti panggang.
Sudah waktunya tumbuh untuk melihat dunia apa adanya, es mencair ketika suhu naik, tanaman mati akibat kekeringan, pohon terbakar dalam kebakaran hutan, kita sekarang menuju pada keruntuhan ekologis yang ekstrim. Apakah ini akan mengarah pada kepunahan manusia, ini bukan soal ideologi tapi fisika sederhana dan tentang sebuah kesadaran. PBB telah menginstruksikan pengurangan karbon ke angka 50% semenjak perjanjian paris pada tahun 2015 lalu. Namun nyatanya justru hasil kesepakatan yang telah di sepakati lebih dari 180 negara itu nampaknya hanya sebuah perjanjian di atas kertas
2. Perjanjian Paris yang tak Kunjung di Realisasikan
Pertama-tama kita mengawali tulisan ini dari perjanjian paris sekitar tujuh tahun yang lalu, dimana sekitar 195 negara yang turut andil dalam konferensi atau pertemuan ini yang menyepakati ketentuan mengenai kontribusi yang ditetapkan secara nasional yang diharapkan akan diimplementasikan pada tahun 2020.
Perjanjian paris ini pada dasarnya merupakan komitmen bersama untuk menahan laju kenaikan suhu rata-rata global dibawah 2℃ di atas suhu di masa praindustrialisasi dan melanjutkan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5℃ di atas suhu di masa praindustrialisasi. Upaya ini tentunya diharapkan dapat mengurangi secara signifikan risiko dan dampak merugikan krisis iklim.
Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani perjanjian paris ini telah meratifikasi dalam hukum nasional melalui UU Nomor 16 Tahun 2016. Lima tahun sejak perjanjian paris disepakati, konsentrasi gas rumah kaca terutama dari penggunaan energi fosil belum menujjukan tren mencapai puncaknya dan kemudian menurun. Setidaknya ada lima hal, mengapa kebijaka krisis iklim indonesia tidak ambisisus dan serius
Pertama, kebijakan iklim indonesia tidak merefleksikan sains terbaru, terutama mengacu pada laporan khusus IPCC tahun 2018 tentang perubahan iklim dan terget 1,5 derajat celcius. Komitmen iklim indonesia adalah 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan international.
Kedua, kebijakan iklim indonesia bertumpu sebagian besar pada sektor berbasis lahan, seperti kehutanan, lahan gambut, pertanian dan alih fungsi lahan. Beban penurunan emisi sektor energi dibiarkan longgar meski tren sepuluh tahun kedepan, sektor energi akan menjadi sumber emisi terbesar indonesia melampaui sektor berbasis lahan.
Ketiga, aksi mitigasi perubahan iklim indonesia didominasi solusi palsu yang tidak menjawab akar persoalan dan melanggengkan praktek business as usual serta menghindari aksi iklim yang lebih ambisisus.
Keempat, kontradiksi kebijakan iklim dengan kebijakan terbaru seperti revisi UU Minerba dan UU yang inkonstitusional seperti UU Cipta kerja serta peraturan lain yang memperbolehkan eksploitasi lahan gambut, alih fungsi hutan lindung untuk food estate, menunjukkan komitmen iklim pemerintah indonesia tidak termanifestasi dalam kebijakan lintas sektor yang selaras
Kelima, kebijakan iklim indonesia tidak berorientasi pada pemenuhan hak hidup dan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat serta tidak mencerminkan keadilan antargenerasi.
3. Proyek Strategis Nasional dan Energi yang Merugikan Pemerintah memberlakukan Proyek Strategis Nasional (PSN) di berbagai daerah dengan merampas tanah rakyat. Pembangunan PLTU, waduk, jalan tol, food estate, gheotermal, hingga proyek baru Ibu Kota Negara (IKN) terus diupayakan. Selain tidak menjawab kebutuhan masyarakat, proyek ini juga menutup kesempatan masyarakat untuk mengambil keputusan atas ruang hidupnya sendiri.
Proyek-proyek energi yang diklaim sebagai energi bersih seperti PLTA dan panas bumi dibangun diatas tanah rakyat dan menghancurkan ribuan hektar lahan hutan. Saat ini, dampak lingkungan dari proyek-proyek ini sudah dirasakan oleh masyarakat, sumber air kering, air minum tercemar, lingkungan tercemar, udara kotor, lahan pertanian rusak, iakn mati, hutan rusak, dan daerah tangkapan nelayan menyempit.
4. Membungkam Demokrasi
Semua dokumentasi proyek seperti analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), izin lingkungan, izin operasi pertambangan diputuskan secara sepihak dan tertutup tanpa melibatkan masyarakat. Begitu juga dengan legislasi PSN dibuat dengan cepat, tertutup, dan tanpa partisipasi rakyat.
Penolakan masyrakat terhadap proyek-proyek tersebut jelas disampaikan melalui serangkaian aksi dilapangan, unjuk rasa, dan audiensi dengan Gubernur, Bupati, DPRD, BPN, hingga pemerintah pusat. Namun justru disayangkan, pemerintahlah yang menjadi aktor dalam melindungi perusahaan dan pengoperasian proyek PSN dan energi. Pemerintah justru membungkam protes masyarakat dengan berbagai cara, yakni kriminalisasi, intimidasi aparat keamanan, preman dan ormas, pembubaran aksi, penutupan akses dokumen hingga perpanjangan izin perusahaan atau hak guna usaha. Selain itu, gugatan masyarakat sering kandas di pengadilan karena putusan hakim yang tidak adil.
5. G20 Adalah Solusi Palsu
Orang Indonesia harus melihat secara kritis dan menyadari dua faktor berikut:
a. Bahwa dengan jumlah dan proyeksi jumlah penduduk Indonesia yang terus digaungkan hingga mencapai bonus demografinya pada tahun 2045, masyarakat Indonesia dalam perekonomian global akan rentan diposisikan sebagai dua hal saja: konsumen produk yang sebenarnya jauh dari kata sustainability dan tenaga kerja murah dan perlindungan yang buruk;
b. Bahwa berbagai kekayaan alam Indonesia: bumi, air, dan berbagai kekayaan alam yang terkandung di dalamnya akan dieksploitasi sedemikian rupa: mengundang segala macam bencana alam dan kemanusiaan, mengulangi lingkaran setan kutukan sumber daya alam, dan membawa manusia semakin jauh dan semakin jauh dari janji kesejahteraan, apalagi kedaulatan. G20 dan kesepakatan di dalamnya tidak ditujukan untuk kesejahteraan rakyat; G20 dan kesepakatan di dalamnya ditujukan untuk pemulihan, keberlanjutan, dan perluasan kepentingan elit ekonomi baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Elit Lebih Kuat, Elit Bersama.
Oleh karena itu, menyerukan kepada bangsa Indonesia:
1) Saling bahu membahu melindungi sumber penghidupan mereka dari proses eksploitasi oleh pelaku industri ekstraktif;
2) Memastikan bahwa transisi energi, dalam arti luas, juga menjadi proses demokratisasi energi, dan karenanya menjadi demokratisasi ekonomi dan politik. Transisi energi harus ditata dengan prinsip dan nilai transisi yang adil dan berkelanjutan: akuntabel, transparan, dan partisipatif; menghormati, memenuhi dan melindungi hak asasi manusia; adil secara ekologis; adil secara ekonomi; dan transformatif;
3) Membangun kekuatan bersama untuk membangun sistem produksidistribusi-konsumsi sesuai dengan budaya dan budaya yang telah melekat dalam sendi-sendi kehidupan.
Forum G20 diyakini hanya memberikan karpet merah bagi korporasi nakal untuk memenuhi pundi-pundi ekonominya. Negara juga tidak boleh memberikan karpet merah kepada elit aktivis ekstraktif yang selama ini terbukti menjadi akar penyebab runtuhnya pondasi ekonomi rakyat. Negara harus menyediakan sarana dan penunjang bagi sistem produksi-distribusi-konsumsi, bukan menjadi antekantek korporasi yang bekerja serampangan.