IRONI KOTA PENDIDIKAN SULAWESI BARAT

Oleh Luluareq Muhammad Alif Mandar

Pendidikan menjadi sebuah aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Seperti yang di ketahui oleh banyak orang bahwa pendidikan adalah alat untuk memanusiakan manusia. Tan malaka dalam bukunya yaitu “Madilog’ menyampaikan bahwa Pendidikan adalah alat untuk bertahan hidup, sejahtera dan membantu kaum jelata. Pendidikan harus mampu membuat masyarakat menghadapi realita dengan berpikir secara logika dan tidak mengandalkan hal hal mistis atau gaib. Pada dasarnya pengertian pendidikan ( UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 ) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Segelintir uraian pendapat dan definisi pendidikan diatas adalah sebuah opini yang telah disepakati khalayak luas dalam menggambarkan apa itu pendidikan.

Namun, Aspek Pendidikan akan kita kerucutkan pada Provinsi Sulawesi Barat dan Kabupaten Majene yang diberikan julukan kota pendidikan. Majene yang diberikan gelar kota pendidikan sulawesi barat sejak terbentuknya provinsi ke-33 ini belum bisa dikatakan layak secara fakta sebagai kota pendidikan. Mengapa ? Realita di kota majene belum menandakan bahwa ini adalah sebuah kota yang berpendidikan, bisa kita lihat dari kehidupan dan Kebiassan masyarakat. Hal ini akan menjadi perbincangan yang sangat kompleks dan panjang sebab ini bersentuhan langsung dengan kehidupan kita.

  1. Realita di Masyaraka

Kita ingin melihat bagaimana pendidikan mampu menjadi alat yang dapat merubah sebuah tatanan dan kebiasaan masyarakat. Melihat hasil Pendidikan memang bukanlah sebuah hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan Tetapi, 18 Tahun Sul-bar terbentuk mestinya kita sudah bisa melihat hasil proses pendidikan di daerah kita. Apakah sudah seperti isi dari UU Sisdiknas yang saya kutip di atas ? tentunya sangat jauh.

Melihat dari kaca mata saya serta pengalaman yang saya dapatkan ketika bersekolah dari SD, SMP, dan SMA di kabupaten Majene. Saya ingin membagikan pengalaman saya bahwa hanya segelintir guru yang pernah mengarahkan saya untuk membaca buku. Artinya, Proses belajar mengajar yang terjadi itu hanyalah satu arah, yaitu hanya menjadikan guru sebagai sumber pengetahuan. Di samping itu budaya membaca ini tidak menjadi sebuah kebiasaan siswa-siswi di majene. Padahal harusnya kebiasaan membaca menjadi tugas utama dari proses belajar mengajar. Literasi harus menjadi poros utama dalam aspek pendidikan. Belum lagi, selama saya sekolah dari SMP sampai SMA, ada sistem yang membagi siswa dalam kelas unggul dan kelas biasa. Ketika kita melihat pernyataan dari Ki Hajar Dewantara yang menganggap bahwa setiap siswa mempunyai keterampilannya masing-masing tentunya kita tidak boleh melakukan hal hal seperti ini sebab, tidak mungkin kita menilai seekor ikan dengan bagaimana dia memanjat pohon atau menilai seekor monyet dengan bagaimana cara dia berenang, artinya setiap siswa mempunyai keahlian mereka masing-masing. Akibat dari proses pembagian kelas ini ada segelintir siswa yang merasakan perbedaan perlakuan guru yang mengakibatkan siswa ini menjadi individualis, kurang bekerjasama dan lebih merasa bahwa dia tak mampu seperti siswa yang masuk kategori kelas unggul. Seharusnya tak ada Kasta yang membedakan siswa dalam memperoleh pendidikan apalagi ini adalah proses pendidikan formal.

Kemudian, Mengapa akhir-akhir ini peristiwa bunuh diri di kabupaten Majene sering terjadi ? memang bunuh diri itu adalah sebuah pilihan yang diluar dari kuasa orang lain namun, seharusnya ketika pendidikan di kota majene sudah tepat, hal seperti ini tidak lagi terjadi karena di dalam proses pendidikan itu kita tidak hanya diajarkan untuk belajar mengenai pengetahuan Matematika, Bahasa Inggris dll. Tapi harus juga diajarkan bagaimana proses pengendalian diri yaitu Emosional Quote. Pada Tahun 2022 itu terjadi 3 kasus bunuh diri di kabupaten Majene dan di tahun 2021 itu terjadi 2 kasus bunuh diri. Hal ini, menandakan bahwa di majene masih kurang akan pendidikan emosional dan spiritual. Memang selama saya menimba ilmu di kota majene, itu sangat kurang ruang-ruang motivasi yang mengarahkan kita untuk bisa berpikir secara luas, berpikir untuk menghadapi realita kehidupan. Kita hanya difokuskan untuk terus mencapai predikat ranking 1, di sibukkan dalam kegiatan kegiatan yang bersaing dengan siswa lainnya. Sangat kurang pelajaran tentang pengendalian diri. Semestinya Intelektual quote, emosional quote dan spiritual quote berjalan beriringan. Belum lagi, ada beberapa kasus pelecahan seksual yang diakibatkan karena pemuda ini sering menonton film porno. Hal ini sangat ironis ketika kita mengetahui hal tersebut terjadi di kota yang katanya berpendidikan. Lantas, apa yang menjadi hal yang harus dibenahi oleh pihak yang berwajib dalam hal ini pemerintah daerah ? tentunya ini harus menjadi pekerjaan yang penting untuk pemerintah.

Selanjutnya, mengapa paradigma di kabupaten majene ketika kita menjadi seorang ASN sudah bisa dikatakan sukses ? Mengapa tidak ada seorang guru di kabupaten Majene yang mengarahkan siswa untuk menjadi petani kelapa yang sukses, menjadi seorang nelayan yang hebat, menjadi seorang pedagang yang mempunyai banyak uang ? kita selalu diajarkan untuk berpikir secara dangkal dan pendek. Padahal paradigma seperti ini menurut saya tidak tepat ketika itu menjadi sebuah pemikiran yang tertanam dalam pemikiran masyarakat yang luas. Tak Heran Majene ini menjadi sebuah kota yang begitu-begitu saja. APBD Kab. Majene yang hampir 900 miliar itu 500 miliar lebih digunakan untuk membayar gaji pegawai dan hasilnya silahkan kita melihat realita yang ada. Apa sebenarnya yang menjadi titik masalah masyarakat di kabupaten majene ? Bukankah sebuah hal miris ketika saya berbincang dengan salah seorang teman yang berkuliah di Universitas Negeri di Majene yang telah lulus dan mendapatkan gelar sarjana hanya ingin menjadi seorang pegawai di Alfamart atau Indomaret ? saya tidak menilai bekerja di indomaret adalah sesuatu yang rendah tetapi menurut pemikiran dangkal saya mengapa begitu aneh, produk yang dibentuk di dalam proses perguruan tinggi negeri sangat miris seperti ini ? Harusnya kita diarahkan untuk berinovasi dan menciptakan sesuatu yang lain kemudian dapat menopang hidup kita ketika keluar dari perguruan tinggi.

Mungkin kita membangun sebuah sekolah, membuat lembaga independen yang berfokus pada masalah- masalah sosial masyarakat, membangun start up atau membuat lembaga kursus tapi sepertinya masyarakat kita tidak sampai pada paradigma seperti ini, kita hanya memikirkan untuk mendapatkan uang secara mudah dengan hanya bekerja di perusahaan. Bagaimana ketika masyarakat kita di hadapkan pada realita yang terjadi saat ini yaitu dunia yang menuju globalisasi dan Internasionalisasi, kasarnya dunia hari ini seolah-olah tak mempunyai batas untuk berinteraksi bahkan di indonesia sejak 2014 program MEA atau Masyarakat Ekonomi Asean itu di jalankan, apakah produk yang dihasilkan Proses Pendidikan kita sudah layak untuk bersaing dengan masyarakat bangsa luar ? Jawaban yang dapat saya tuliskan, kita masih jauh ketika paradigma seperti ini masih menjadi pegangan untuk bersaing dalam pasar bebas zaman ini.

Masalah yang ada di kabupaten Majene ini saya katakan sangat parah dan sudah mendarah daging. ASN yang diharapkan bisa memberikan dampak yang minimal bisa merubah mindset masyarakat Namun, tak dapat menghasilkan program yang mempunyai value atau dampak yang merubah pola pikir ini. Tak heran banyak tokoh hebat dari Majene tak pulang kembali mengabdikan dirinya ke kampung halaman sebab tak ada peluang yang dilihat untuk kembali ke kampung halaman kecuali, peluang menjadi ASN. Semua hal yang saya uraikan diatas adalah kritik bagi kita semua dan menjadi sebuah pembelajaran bagi kita untuk memajukan daerah kita ke depannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *